DataFakta.com (Kontroversi Publik) | Lamongan – Fenomena kabar para petani yang sudah 30 tahun mengeluhkan keberadaan tambak liar di area Rawa Sekaran patut mendapatkan perhatian. Dampak dari penjarahan Rawa Sekaran oleh petambak liar sangat merugikan para petani di aliran daerah irigasi Sekaran dan sekitarnya.
Jumlah lahan di area Rawa Sekaran sekitar kurang lebih adalah 564 hektar, area tersebut sudah 80 persen dijarah oleh petambak liar dan hanya 20 persen sebagai lahan rawa, secara otomatis debit air dari lahan selama ini Rawa Sekaran bisa menampung 7.000.000 kibik, namun faktanya saat ini hanya tersedia air 2.000.000 kibik untuk petani daerah irigasi Sekaran dan sekitarnya.
Keberadaan Rawa Sekaran pada era tahun 1970’an adalah murni berfungsi sebagai tandon air untuk mengairi 4 kecamatan. Masyarakat pada waktu itu kebutuhan air sangat tercukupi dan tidak pernah ada gejolak pada musim tanam dan musim panen, secara otomatis swasembada pangan dan ketahanan pangan selalu terjaga. Pada saat kemarau mereka bisa mengfungsikan tanah negara untuk bercocok tanam palawija seperti jagung, jarak, kacang hijau, shorgun. Sedangkan pada musim hujan bisa untuk bercocok tanam padi karena tidak ada tanggul tinggi yang selama ini dibuat para penjarah Rawa Sekaran.
Keabsahan lahan para petani di sekitar Rawa Sekaran mereka bisa memperdayakan warga untuk memanfaatkan lahan untuk budi daya tanaman. Kalau zona penggarap lahan berdasarkan dengan lokasi tiap desa masing-masing. Seperti Desa Karang, lahan sekitar Desa Karang saja karena tidak boleh melewati ambang batas desa. Peraturan tersebut dijalankan oleh para petani penggarap lahan semacam ada kesempatan adat istiadat tidak ada perjanjian secara legal.
Seiring perkembangan zaman era tahun reformasi, kesepakatan adat istiadat tersebut mulai terkoyak dengan adanya mafia petambak liar. Para pelaku tambak ilegal karena pada waktu di sekitar wilayahnya sudah penuh maka mereka melebarkan usahanya di Rawa Sekaran. Pelaku usaha dari Kecamatan Widang Tuban, kawasan tambak Kecamatan Turi, Kecamatan Kalitengah, Karanggeneng dan sekitarnya, mereka eksodus ke Rawa Sekaran seolah menjarah ke pemilik warga yang sudah bertahun-tahun warisan dari nenek moyangnya.
Metode yang selama ini dipergunakan oleh penjarah tambak liar adalah dengan modus transaksi ke penggarap lahan dengan pembelian di bawah tangan. Ada juga yang masih bertahan dengan sistem sewa lahan dipetak dan dibuatkan tanggul yang sangat tinggi sewa pertahun, sebuah transaksi ilegal di lahan pemerintah aliran dana yang ilegal, negara dirugikan dengan pembelian dan penjualan lahan negara yakni area Rawa Sekaran.
Pada saat awal pembuatan tambak liar di duga ada upaya pembiaran, karena setiap rawa ada petugas pintu jaga air dan para pejabat selalu monitor, para pengusaha dari luar kecamatan berbondong-bondong menjarah Rawa Sekaran. Pendatangan alat excavator (bego) ke lahan rawa di eksploitasi besar-besaran oleh mereka seolah di mata mereka itu lahan legal, padahal sudah terpampang di area Rawa Sekaran ada papan bertuliskan dilarang memakai atau memanfaatkan lahan rawa karena melanggar hukum.
Namun seolah keberadaan mereka (petambak liar) semakin brutal terindikasi ada dugaan pembiaran dari pemangku kebijakan yakni Dinas Pekerjaan Umum Sumberdaya Air Provinsi Jatim. Masyarakat cuma bisa mengelus dada melihat para pejabat pemangku kebijakan menutup mata dan telinga. Dugaan banyaknya kepentingan yakni para petambak liar selama ini terindikasi memanfaatkan jatah pupuk bersubsidi untuk para petani dicuri oleh petambak liar, karena lahan sebegitu lebar para petambak liar musim panen dan hasil ikan yang kurang pupuk tidak bisa maksimal. Isu menonjol di Kabupaten Lamongan para petani sempat demo adalah karena jatah subsidi pupuk mereka digarong oleh letani tambak liar atau ilegal.
Belum lagi keberadaan mesin alat berat selama kemarau kegiatan tersebut rutin memakai BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi jenis solar, untuk mesin besar dan pengunaan mesin diesel untuk mengairi tambak mereka dan musim kemarau pengerukan kedalaman tambak liar, hal tersebut sangat merugikan negara, karena para petani sering mengeluh ke para Gapoktan dan GHippa pada saat pembelian BBM bersubsidi selalu kosong, semua itu terjadi karena lemahnya pengawasan dari Dinas SDA Provinsi Jatim yang lalai mendata para penggarap lahan rawa. APH (Aparat Penegak Hukum) tidak berani mencegah di lahan milik negara karena leading sektor pengawasan dan wewenang ada di pundak Dinas SDA Provinsi Jatim.
Mereka tahu ada eksodus pupuk subsidi dari luar kecamatan masuk di kawasan tambak liar di Rawa Sekaran, dan tahu ada pengekploitasian BBM bersubsidi di kawasan tambak liar namun semua bermuara kepada Dinas SDA Provinsi Jatim, niat dan kemauan pemangku kebijakan serta keseriusan merekalah keberadaan pembongkaran tambak liar bisa berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan para petani dan paguyuban HIPPA.
Karena ada banyaknya oknum yang bermain dalam pengelolaan air dan fungsi air di Rawa Sekaran harus mendapatkan atensi baik dari Bupati Lamongan untuk membantu para petani untuk memberikan dorongan aspirasi ke pemangku kebijakan dan wewenang Dinas SDA Provinsi Jatim bisa berkoordinasi dengan kementerian terkait anggaran dan seluruh kebijakan Menteri PUPR Pusat Jakarta. (Amin Santoso Presidium NGO JALAK, Redaksi)
Baca juga :
https://data-fakta.com/kontroversipublik/2024/08/24/ketua-distrik-lsm-gmbi-bersama-ksm-lsm-gmbi-rayakan-hut-ri-ke-79-dengan-masyarakat-sangkapura-bawean/